SELAMAT DATANG DI BLOG POETRA MARHAEN

Saturday, June 27, 2009

Mengapa Aktivis Progresif Bersekutu dengan Politik Elit?

KONTROVERSI sikap politik Dita Indah Sari, yang mendukung calon presiden Jusuf Kalla-Wiranto (JK-Win) dalam pemilu 2009, telah menggegerkan dunia pergerakan progresif Indonesia. Seketika, debat terbuka di kalangan aktivis (umumnya aktivis PRD dan eks PRD) bermunculan. Sayang sekali, perdebatan itu tidak didasarkan pada satu analisa yang dingin, tapi lebih melibatkan emosi. Saling tuding, hina, dan caci-maki menjadi lebih dominan.

Jika kita melihat sosok Dita, wajar sekali jika perdebatan itu berlumur emosi. Masing-masing pihak yang terlibat dalam perdebatan tersebut, pernah begitu dekat dengan Dita, senasib-sepenanggungan dalam suka dan duka. Pernah pada satu ketika, pada pundak Dita diletakkan harapan bagi masa depan pembangunan gerakan yang lebih baik. Harapan yang juga wajar, karena rekam jejaknya yang tak terbantahkan sebagai aktivis radikal dan pantang menyerah. Sehingga, ketika Dita mengumumkan pilihan politiknya dengan mendukung pasangan JK-Win, harapan itu dengan segera musnah.

Tetapi, Dita tidak sendiri dalam pergeseran garis politiknya: dari politik radikal menjadi politik moderat. Ada Budiman Sudjatmiko, yang bergabung di PDI-P yang kini mengusung Prabowo Subianto, sebagai calon wakil presiden Megawati; Andi Arief dan Jakobus Eko Kurniawan yang mendukung pasangan SBY-Boediono, serta banyak aktivis NGO yang mengglorifikasi pilihan Golongan Putih (Golput), tanpa satu arahan politik yang jelas. Pokoknya Golput, put, put, put.

Karena itu, perlu ada penjelasan lebih jernih mengapa pergeseran politik para aktivis ini terjadi. Penjelasan mana tidak bertujuan untuk membenarkan atau memaklumi pergeseran politik tersebut, tapi untuk memahami mengapa pergeseran itu terjadi.

Pada mulanya adalah peristiwa G30S pada tahun 1965. Horor kemanusiaan terbesar sejak Holocaust Nazi, Jerman, merupakan titik tolak terpenting untuk menjelaskan pergeseran politik radikal ke politik moderat bahkan konservatif. Pada peristiwa G30S itu, para aktivis organik yang tumbuh dan berkembang bersama rakyat dihabiskan hingga ke akar-akarnya. Terorisme negara yang dilakukan oleh militer dan organisasi-organisasi sipil yang berada di bawah pengaruh militer, sukses membuat gerakan rakyat binasa, tanpa bisa bangkit lagi sebagai kekuatan radikal yang independen. Dalam waktu yang lama, aktivis-aktivis organik ini tidak muncul.

Kebangkitan perlawanan gerakan rakyat di masa orde baru, tidak terlepas dari “bantuan” dari para aktivis yang datang dari lapisan terdidik dalam masyarakat, yakni mahasiswa dan aktivis LSM. Para mahasiswa sadar politik dan aktivis LSM ini, secara sosial datang dari kelompok menengah kecil. Mereka turun ke bawah, mengorganisir rakyat yang terhimpit hidupnya, tapi tak punya nyali besar untuk melawan kediktatoran. Bersama mahasiswa dan aktivis LSM, rakyat merasa punya “teman” seperjuangan.

Tetapi, karena para aktivis ini datang dari lapis menengah, daya juangnya dalam pasang-surut gerakan rakyat sulit bertahan lama. Dalam banyak kasus, begitu perlawanan rakyat yang diorganisir menyurut (baik karena tuntutannya telah terpenuhi atau karena represi keras dari militer), para mahasiswa dan aktivis LSM ini, kembali ke habitatnya semula: sebagai mahasiswa atau sebagai aktivis LSM. Hanya sebagian kecil dari para aktivis ini tetap bertahan dalam gerakan massa. Akibatnya, jarak hubungan antara para aktivis dari lapis menengah dan rakyat kembali melebar. Apa yang menjadi gagasan dan ideal para aktivis ini, sering tidak berkesesuaian dengan kesadaran politik rakyat umumnya.

Mengapa hal ini terjadi? Untuk itu kita mesti melihat dampak lain dari peristiwa G30S 1965 tersebut. Segera setelah terror massal pada 1965-1966, rejim Orba segera membuka diri terhadap kapitalisme internasional. Di bawah kawalan militer, kapital beroperasi dengan leluasa tanpa gangguan yang nyata. Hasilnya, walaupun pertumbuhan ekonomi meningkat pesat, tetapi ketimpangan sosial antara segelintir elite (militer, birokrasi, dan borjuasi komprador), dengan mayoritas rakyat yang sangat miskin begitu tajam. Sementara itu, lapisan menengah (sumber pencetak para aktivis), secara ekonomi dan sosial hidupnya sangat tergantung pada kemurahan hati elite.

Setelah rejim Orba jatuh pada 1998, arah kebijakan ekonomi Indonesia, tidak berubah dari yang telah dijalankan rejim sebelumnya: tetap menempuh jalan kapitalisme. Malahan lebih radikal. Dengan dalih mengentaskan krisis, ekonomi Indonesia masuk pada fase baru yang disebut kapitalisme-neoliberal, dimana pasar bebas, perdagangan bebas, dan negara yang tidak intervensionis terhadap mekanisme pasar, menjadi panduan kebijakan ekonomi nasional. Hasilnya, kehidupan rakyat yang telah miskin sejak jaman rejim Orba, menjadi bertambah miskin di bawah rejim kapitalisme-neoliberal. Jika sebelumnya rejim Orba masih menjamin sembilan bahan kebutuhan pokok murah bagi rakyat miskin, dibawah rejim kapitalisme-neoliberal, sembilan bahan kebutuhan pokok itu harganya dibiarkan lepas mengikuti gejolak di pasar.

Hasilnya, walaupun rejim baru muncul melalui mekanisme elektoral yang “demokratis,” tetapi para aktor dominan dalam politik nasional tetaplah datang dari lapisan elite militer, birokrasi, dan borjuasi komprador. Artinya, spektrum politik elektoral saat ini sesungguhnya merupakan refleksi dari struktur sosial masyarakat yang sebenarnya tidak banyak berubah dari masa sebelumnya. Segelintir elite menguasai sumberdaya ekonomi-politik yang luar biasa besar, sementara mayoritas rakyat tetap berkubang dalam kemiskinannya. Pada saat yang sama, terorisme negara terhadap aksi-aksi radikal tetap tidak mengalami perubahan yang signifikan.

Para aktivis yang muncul dari lapisan menengah, juga tidak bisa mengelak dari struktur sosial yang sangat timpang dan represif ini. Sehingga, mereka dihadapkan pada dua pilihan: pertama, untuk betul-betul menjadi aktivis yang berbasis massa, yang hidup bersama massa, dan mengorganisir massa dari hari ke hari, mereka harus bersedia hidup miskin dan terlunta. Ini berbeda dengan aktivis di Amerika Serikat, misalnya, dimana untuk menjadi aktivis yang berbasis massa, tidak mesti menjadi miskin dan terlunta. Artinya, ini bukan pertama-tama problem ideologis, tetapi problem nyata kehidupan.

Kedua, para aktivis ini pada akhirnya kembali terserap pada politik elit, yang dengan demikian, status sosial-ekonominya menjadi lebih terjamin. Politik elit di sini, tidak terbatas dukungan kepada partai-partai politik yang eksis saat ini, atau mendukung figur-figur elite yang ada, tapi juga pada elite yang lebih luas: lembaga donor dan akses kepada koneksi internasional. Para aktivis yang mukim di LSM-LSM mapan, juga masuk dalam kategori ini, walaupun secara politik, mereka tidak memberikan dukungannya kepada partai politik maupun figur dari kalangan elite partai.***

No comments:

Post a Comment