SELAMAT DATANG DI BLOG POETRA MARHAEN

Wednesday, June 22, 2011

Masih Adakah DPRD Yang Peduli Masyarakat?

Oleh Muhammad Jafar
To Salassae. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merupakan wakil masyarakat di daerah yang diharapkan dapat memperjuangkan apa yang menjadi kebutuhan masyarakatanya. Terpilihnya Anggota DPRD karena mereka telah memberikan harapan yang besar pada masyarakat saat menjelang pemilu lalu. Namun harapan itu sepertinya tinggal harapan yang tak pernah terwujud.

Calon anggota DPRD menjelang pemilu mendatangi masyarakat hingga ke pelosok desa dengan ramah dan santun. Lalu masyarakat pun simpati pada mereka sehingga menjatuhkan pilihan pada mereka.
Keramahan dan kesanatunan mereka kepada masyarakat pelosok ini hanya sesaat. Hal ini terlihat setelah mereka terpilih hamper tidak pernah lagi mengunjungi peloso desa, dan bahkan jika mereka melintas kaca mobilpun ditutup rapat seolah tak mengenal lagi masyarakatnya. Apakah ini karena mereka telah mendapatkan apa yang mereka cari (jabatan, gaji dll)? Atau memang merekah tidak mengenal kami? Wallahu wa’lam.
Meskipun sangat jelas diatur dalam UU No. 27/2009 tentang tugas dan tanggung jawab anggota DPRD kepada konstituennya namun mereka tak mengindahkan dan bahkan mengabaikannya. Kadang ada yang berdalih “ kan saya duduk di sini tidak gratis”. Itu artinya telah terjadi proses yang tidak sehat dalam pemilu. Jual beli suara antara masyarakat dan calon DPRD terjadi. Nah, jika ini benar terjadi lalu siapa yang salah? Apakah masyarakat yang menerima uang ataukah mereka (DPRD) yang membiasakan masyarakat untuk itu? Atau ada sebuah system yang memang mengharuskan itu terjadi sehingga perlu di rubah?
Dalam rangka membangun komunikasi antara DPRD dan konstituennya perlu adanya sebuah mekanisme yang jelas. Jika tidak, maka hal diatas akan terus terulang entah sampai kapan.
DPRD sebagai wakil rakyat seharusnya memperjuangkan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat namun bagaiman mungkin mefreka tahu kalau tidak pernah mengunjungi lagi masyarakatnya.
Di Margolembo, kecamatan Mangkutana, masyarakat sangat menyayangkan DPRD yang berasal dari daerah mereka namun tak lagi merakyat. Jika ada yang mengatakan, DPRD hampir setiap hari bertemu dengan warga disana, itu karena di Pesta keluarga. Namun pad apertemuan itu hamper tidak ada pembicaraan soal keluhan dan kebutuhan masyarakat yang harsu diperjuangkan oleh mereka di gedung yang mewah.
Berbeda dengan Mulyasri, disini masyarakat justru mempertanyakan “masih adakan DPRD yang pro rakyat?”. Pertanyaan ini muncul karena melihat kenyataan sekarang, DPRD kadang ribut bukan persoalan masyarakat, tapi persoalan mereka sendiri.
Dari sekian usulan dalam musrenbang desa tidak pernah terdengar apa yang dilakukan oleh DPRD untuk memperjuangkan itu. Selain  itu hamper tidak pernah lagi ada anggota DPRD yag mendatangi Desa. Ini mungkin karena sekarang mereka sudah ada kantor jadi gak adalagi waktu untuk ke masyarakat, berbeda ketika masih menjadi calon hampir setiap haris ke desa-desa.
Dari kasus ini seharusnya masyarakat membangun sebuah kekuatan yang terorganisir sebagai bargaining position terhadap mereka yang telah berkuasa. Dalam hal inilah PG menjadi alternative bagi masyarakat miskin. PG bisa menjadi “sekolah” bagi orang miskin dan masyarakat marginal, juga sebagai alat perjuangan bersama demi tercapainya kesejahteraan bersama. Namun perlu di ketahui kehadiran Kopel dan PGnya bukan untuk menjatuhkan atau mencari kesalahan, namun lebih pada bagaimana menemukan kebenaran yang tersembunyi. Jika ada kesalahan yang di ungkapkan sesungguhn ya itulah kebenaran yang tersembunyi.

No comments:

Post a Comment